Menyibak Tabir Misteri Nusantara
Tulisan ini saya persembahkan untuk seluruh rakyat nusantara
sebagai ungkapan rasa keprihatinan atas carut marut yang sedang terjadi
di bumi pertiwi ini. Berawal dari komunikasi intensif saya dengan bapak
Tri Budi Marhaen Darmawan (penulis Surat Terbuka kepada SBY) telah
membawa saya kepada pencerahan cakrawala pemahaman tentang apa dan
bagaimana kejadian yang tengah berlangsung dan prediksi yang akan
terjadi di negeri ini. Bahkan tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa
ini merupakan suatu upaya membedah warisan leluhur yang sarat dengan
perlambang sehingga sedikit demi sedikit terkuak tabir misteri jagad
nusantara ini. Sangat luar biasa. Hal ini sepatutnya bisa dipahami oleh
seluruh anak cucu leluhur bangsa ini sebagai pewaris sah tataran tanah
surgawi yang bernama Nusantara.
Hasil kajian spiritual bapak Budi Marhaen berusaha saya pahami dengan
“rasa naluri” yang mendalam dengan tanpa mengabaikan logika berpikir
sehat. Memang banyak hal sulit ditelusuri melalui referensi buku-buku
sejarah atau dengan bukti-bukti empiris yang ada, namun dengan semangat
menguak tabir misteri untuk lebih memahami fenomena yang terjadi saat
ini, maka segala sesuatunya yang dapat saya cerna berusaha saya
ungkapkan secara sederhana apa adanya di dalam blog/buku ini. Ibarat
mencari mata rantai yang hilang (missing link), nampaknya misteri yang
ditinggalkan pasca keruntuhan Majapahit (500 tahun yang lalu) mulai
terlihat secara samar-samar. Sayapun mulai memahami apa makna yang
tersirat dari saran bapak Budi Marhaen kepada SBY di dalam Surat
Terbukanya kepada SBY :
“Kumpulkanlah ahli-ahli Thoriqoh negeri ini yaitu mursyid /
syeh-syeh yang telah mencapai maqom ma’rifat “Mukasyafah”,
Pedanda-pedanda sakti agama Hindu, Bhiksu-bhiksu agama Budha yang telah
sempurna, serta kasepuhan waskito dari Keraton Jogja, Solo &
Cirebon, untuk bersama-sama memohon petunjuk kepada Allah SWT mencari
siapa sosok orang yang mampu mengatasi keadaan ini dan mencari jawab
dari misteri ramalan para leluhur di atas. Gunakan 4 point panduan saya
untuk memandu mereka. Insya Allah, jika Allah Azza wa Jalla memberikan
ijin dan ridho-Nya akan diketemukan jawabannya.”
Walaupun Surat Terbuka tersebut tidak mendapat tanggapan dari yang
bersangkutan presiden SBY, namun saya memiliki keyakinan bahwa beliau
bapak Budi Marhaen “mengetahui” sangat banyak tentang fenomena yang
sedang terjadi di jagad nusantara ini.
Tanpa berniat mengundang perdebatan, semoga ungkapan saya dapat menjadi
bahan perenungan kita bersama guna menyongsong fajar kejayaan Nusantara
yang kita cintai.
Memahami Makna Karya Warisan Leluhur Nusantara
Terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih kepada bapak Budi Marhaen
atas pemberian referensi-referensinya berupa naskah : Bait-bait syair
terakhir Ramalan Joyoboyo, Serat Musarar Joyoboyo, Uga Wangsit
Siliwangi, Serat Darmagandhul, dan Ramalan Ronggowarsito. Setelah saya
membaca dan berusaha memahami dengan segala perenungan, maka sayapun
menjadi takjub dibuatnya akan karya-karya beliau para leluhur kita.
Antara satu dengan lainnya walaupun berbeda masa/periode yang jauh
berselang, namun ternyata di dalam perlambangnya memiliki saling
keterkaitan. Suatu perlambang dalam suatu karya menunjuk kepada
perlambang atau karakter yang lain di dalam karya leluhur yang berbeda.
Saya merasakan bahwa tanpa intervensi kemampuan spiritual yang tinggi
akan sangat sulit memahami keterkaitan perlambang-perlambang ini. Dan
fenomena ini membuktikan bahwa hanya dengan mengandalkan akal penalaran
saja akan mengantarkan kita kepada jalan buntu. Akhirnya menyerah pada
keputusasaan dengan menganggap bahwa ini semua merupakan sekedar ramalan
yang tidak berguna dan out of date (usang). Masing-masing orang bisa
saja menafsirkan hal tersebut dengan penafsiran yang berbeda-beda. Tidak
ada yang melarang. Bebas-bebas saja. Benar tidaknya kembali kepada diri
kita masing-masing. Inilah tabir misteri. Kebenaran sejati adanya di
dalam nurani yang suci dan bersih. Dalam buku ini referensi-referensi
tersebut dapat dibaca secara lengkap pada bagian lampiran.
Uga Wangsit Siliwangi
Membaca naskah Uga Wangsit Siliwangi terasa mengandung hakekat yang
sangat tinggi bila telah memahaminya. Karena di dalamnya digambarkan
situasi kondisi sosial beberapa masa utama dengan karakter pemimpinnya
dalam kurun waktu perjalanan panjang sejarah negeri ini pasca kepergian
Prabu Siliwangi (ngahiang/menghilang). Peristiwa itu ditandai dengan
menghilangnya Pajajaran. Dan sesuai sabda Prabu Siliwangi bahwa kelak
kemudian akan ada banyak orang yang berusaha membuka misteri Pajajaran.
Namun yang terjadi mereka yang berusaha mencari hanyalah orang-orang
sombong dan takabur. Seperti diungkapkan dalam naskah tersebut berikut
ini :
”Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit
dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti
ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir!
Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih
deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba
nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”
- “Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang
kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak,
selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada
akan banyak yang menolak! tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya
yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus
memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan
sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.”
Namun dalam naskah Wangsit Siliwangi ini dikatakan bahwa pada
akhirnya yang mampu membuka misteri Pajajaran adalah sosok yang
dikatakan sebagai ”Budak Angon” (Anak Gembala). Sebagai perlambang sosok
yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi sebagai orang yang baik
perangainya.
”Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di
waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan
anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal
kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang.
Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu
ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku
lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku
wawangi.”
- ”Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu
tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu,
membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila
aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar.
Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka
yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga
mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku
datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian.”
Selanjutnya dikatakan juga apa yang dilakukan oleh sosok ”Budak Angon” ini sbb:
”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang;
ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon;
imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku
handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé,
lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon
ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan
wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu
kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba
lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa
lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung
nitis, laju nitis dipinda sukma.”
- ”Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan
larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak
Gembala; Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi
pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? bukan kerbau
bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun
kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua
yang dia temui, tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman
yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru,
setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu
lagi.”
Dari bait di atas digambarkan bahwa sosok ”Budak Angon” adalah sosok
yang misterius dan tersembunyi. Apa yang dilakukannya bukanlah seperti
seorang penggembala pada umumnya, akan tetapi terus berjalan mencari
hakekat jawaban dan mengumpulkan apa yang menurut orang lain dianggap
sudah tidak berguna atau bermanfaat. Dalam hal ini dilambangkan dengan
ranting daun kering dan tunggak pohon. Sehingga secara hakekat yang
dimaksudkan semua itu sebenarnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan
sejarah kejadian (asal-usul/sebab-musabab) termasuk karya-karya warisan
leluhur seperti halnya yang kita baca ini. Dimana hal-hal semacam itu
karena kemajuan jaman oleh generasi digital sekarang ini dianggap sudah
usang/kuno tidak berguna dan bermanfaat. Pada akhirnya yang tersirat
dalam hakekat perjalanan panjang sejarah negeri ini adalah berputarnya
roda Cokro Manggilingan (pengulangan perjalanan sejarah).
Gambaran situasi jaman dalam naskah Wangsit Siliwangi diawali dengan
lambang datangnya ”Kerbau Bule” dan juga ”Monyet-monyet” yang kemudian
ganti menyerbu selepas Kerbau Bule pergi. Ilustrasi ini melambangkan
saat datangnya para penjajah yang berdatangan ke negeri ini, baik itu
Portugis maupun Belanda. Dengan politik adu domba mereka maka terjadi
peperangan antar saudara. Sejarah banyak yang hilang dan
diputarbalikkan. Seperti yang tertulis berikut ini :
”Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan
bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo
dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo
barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti
harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang
narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh
hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir,
tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah
loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala!
Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya
gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan;
tapi jalan nu pasingsal!
Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur;
laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi
seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku
monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku
monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét.
Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet
bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba
nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong,
sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus
ganti deui lalakon.”
- ”Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk
sementara waktu: tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun
dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan
pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi
dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau
bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan.
Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah
serta banyak pilihan.Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat
nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun
dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi
banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual!
Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada
saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para
pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!Yang memerintah bersembunyi,
pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet!
keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab
ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat
padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil
oleh penyakit. semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh
segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan
penyakit sebab sudah semakin parah. yang mengerjakannya masih bangsa
sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak
yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka
tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.”
Kemudian akhirnya masuk pada masa Perang Dunia II dengan datangnya
pasukan Jepang yang dilambangkan dengan gemuruh yang datang dari ujung
laut utara. Dimana masa penjajahan Jepang menandai berakhirnya
penindasan di negeri ini. Terutama peristiwa jatuhnya bom atom di
Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika, sebagai perlambang dalam naskah
Wangsit Siliwangi bahwa situasi carut marut yang terjadi ada yang
menghentikan yaitu orang seberang.
”Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur,
galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé
ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting
rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu
paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut
musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu
bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk
tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu
harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk,
henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun
jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.”
- ”Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung
menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! sementara di sini? Ramai oleh
perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana sini.
Lalu keturunan kita mengamuk: mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati
tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman; yang jelas-jelas teman
dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. yang
bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang
mengamuk tambah berkuasa; mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih
dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab
banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak
sarangnya. Seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi, ada yang
menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang.”
Lalu selanjutnya terdapat suatu masa yang digambarkan dengan munculnya seorang pemimpin negeri ini dengan gambaran sbb :
”Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan
raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da
puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala!”
- ”Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi
memang keturunan raja dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau
Dewata. Karena jelas keturunan raja; penguasa baru susah dianiaya!”
Siapakah sosok yang dimaksud dalam bait ini? Dia adalah Soekarno,
Presiden RI pertama. Ibunda Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai seorang
putri bangsawan Bali. Ayahnya seorang guru bernama Raden Soekeni
Sosrodihardjo. Namun dari penelusuran secara spiritual, ayahanda
Soekarno sejatinya adalah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X. Nama kecil
Soekarno adalah Raden Mas Malikul Koesno. Beliau termasuk ”anak ciritan”
dalam lingkaran kraton Solo. (Silakan dibuktikan..) Pada masa
kepemimpinan Soekarno banyak terjadi upaya pembunuhan terhadap diri
beliau, namun selalu saja terlindungi dan terselamatkan.
Selanjutnya setelah berganti masa digambarkan bahwa semakin maju
semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah
berhala. Kondisi ini melambangkan pemimpin yang tidak mau mengerti
penderitaan rakyat. Memerintah tidak dengan hati tapi segala sesuatunya
hanya mengandalkan akal pikiran/logika dan kepentingan pribadi ataupun
kelompok sebagai berhalanya. Sehingga yang terjadi digambarkan banyak
muncul peristiwa di luar penalaran. Menjadikan orang-orang pintar hanya
bisa omong alias pinter keblinger, seperti yang dikatakan sbb :
”Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui
nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina
cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté
hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana
aseupan. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan
wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.”
- ”Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah
sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan
hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang
mengerti aturan itu sendiri. Sudah pasti: bunga teratai hampa sebagian,
bunga kapas kosong buahnya, buah pare banyak yang tidak masuk kukusan.
Sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus
janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar keblinger.”
Lalu dalam situasi dan kondisi tersebut yang tidak berbeda dengan
saat ini kemudian muncul sosok orang yang dikatakan dalam naskah Wangsit
Siliwangi sbb :
”Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari
nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur
paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang
sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup
ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku
arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut
dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar
pimusuheun.
Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran
didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi
gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup
mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman
manusa dikawasaan ku sato!”
- ”Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju
serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah
arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar
keblinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah
memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda
berjanggut ditangkap dimasukan ke penjara. Lalu mereka mengacak-ngacak
tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja
membuat permusuhan.
Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan
Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara
selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi
kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh
kelakuan hewan.”
Sosok ”Pemuda Berjanggut” di atas adalah lambang laki-laki sejati
yang sangat kuat prinsip dan akidahnya serta selalu eling (dilambangkan
dengan baju serba hitam). Dan dia juga seorang yang tekun dan taat
beribadah serta kuat dalam memegang ajaran leluhur (dilambangkan dengan
menyanding sarung tua). Digambarkan bahwa di tengah situasi negeri yang
panas membara (carut marut) dimana manusia dipenuhi nafsu angkara,
”Pemuda Berjanggut” datang mengingatkan yang pada lupa untuk kembali
eling. Namun tidak dianggap.
Lalu pada alinea menjelang akhir dikatakan :
”Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing
nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di
alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha
mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut,
ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo
marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut?
Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta
bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi
kabarérang.”
- ”Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah
kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu’jizat
datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk
perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti, saat munculnya Anak
Gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah
semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu
menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh
pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? memperebutkan tanah. Yang sudah
punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada
diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”
Situasi tersebut di atas adalah gambaran apa yang terjadi sekarang
ini. Kalau kita perhatikan dengan cermat alinea ini, maka memang saat
ini seluruh rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu’jizat di
tengah-tengah carut marut yang sedang berlangsung di negeri ini.
Lebih-lebih utamanya rakyat korban lumpur Lapindo yang kian hari makin
kian sengsara. Bencana datang bertubi-tubi. Huru-hara terjadi di
mana-mana. Dan akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kasus perebutan
tanah. Fenomena paling tragis dalam perebutan tanah pada masa ini (2007)
ditandai dengan kasus Pasuruan yang membawa 4 korban tewas rakyat kecil
di tangan aparat. Pemuda Gendut merupakan lambang orang yang rakus dan
serakah serta memiliki kepentingan pribadi.
Dalam bait ini dikatakan bahwa penguasa tersebut akan tumbang pada saat
munculnya “Budak Angon”. Dimana kemunculannya ditandai dengan banyak
terjadi huru-hara yang bermula di daerah lalu meluas ke seluruh negeri.
Dalam mengkaji Wangsit Siliwangi ini kita telah menemui lelakon atau
pemeran utama yang dikatakan dengan istilah ”Budak Angon” (Anak Gembala)
dan ”Budak Janggotan” (Pemuda Berjanggut). Coba mari kita simak alinea
berikut :
”Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya
nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel
gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun
ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di
birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum
ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta
tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung
budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak
Cawéné!”
- ”Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka
memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang
punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan,
ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang
rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh
pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon
sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka
lahan baru di Lebak Cawéné!”
Perselisihan yang terjadi adalah sia-sia belaka. Karena selalu saja
pihak penguasa membantu yang kuat, berdiri angkuh di atas yang lemah.
Ada saat dimana ”wong cilik” sebagai lambang ”si lemah yang tertindas”
mencari penuh harap sosok ”Budak Angon dan Budak Janggotan.” Namun yang
dicari sulit ditemukan karena telah pergi ke Lebak Cawéné. Dimanakah
Lebak Cawéné ? Lebak Cawéné adalah suatu lembah seperti cawan, yang
dikatakan di dalam Serat Musarar Joyoboyo sebagai Gunung Perahu. Tempat
itu digambarkan sebagai suatu lembah atau bukit dimana permukaannya
cekung seperti tertumbuk perahu besar. Dikatakan oleh bapak Budi
Marhaen, secara gambaran spiritual, di tempat itu terdapat 2 sumber air
besar dan ditandai dengan 3 pohon beringin (Ringin Telu).
Lebih lanjut dikatakan :
”Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul.
Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé
anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang
Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana.
Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu
adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia
nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak!
Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!”
- ”Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan!
jaman akan berganti lagi, tapi nanti, setelah Gunung Gede meletus,
disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda
dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara
bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang
sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian
akan tahu. Sekarang, carilah Anak Gembala. Segeralah pergi. Tapi ingat,
jangan menoleh ke belakang!”
Perlambang gagak berkoar di dahan mati bermakna situasi dimana banyak
suara-suara tanpa arti. Rakyat menjerit-jerit, penguasa mengumbar
janji-janji kosong. Sedangkan negara digambarkan banyak ditimpa bencana.
Sekarang ini banyak gunung di nusantara sedang aktif bahkan beberapa
gunung telah meletus. Ribut seluruh bumi merupakan lambang keresahan
dunia internasional dewasa ini terhadap perubahan iklim dunia dan
pemanasan global. Hal ini ditandai dengan banyak bencana yang terjadi di
banyak negara.
Nampaknya kita sedang memasuki tahapan situasi ini. Mari kita renungkan
dan perhatikan dengan apa yang sedang terjadi di seluruh negeri ini.
Gunung-gunung telah mulai aktif, banyak terjadi bencana dengan unsur
Air, Api, Angin dan Tanah dimana-mana, banyak pula terjadi huru-hara
(demonstrasi/kerusuhan) sebagai lambang ketidakpuasan di berbagai
tempat. Apakah ini terjadi secara kebetulan ? Tentu bagi yang memahami,
ini semua adalah merupakan skenario langit.
Lalu, siapakah ”Budak Angon” itu ? Dari bait tersebut diperlambangkan
bahwa budak angon adalah orang sunda atau berdarah sunda. Hal ini akan
kita bedah lagi setelah sampai pada kesimpulan setelah kita mengkaji
karya-karya leluhur lainnya.
Serat Musarar Joyoboyo
Di dalam uraian ini saya akan mengawali dengan menandai suatu masa atau periode dalam Sinom bait 18 yang berbunyi :
”Dene jejuluke nata, Lung gadung rara nglingkasi, Nuli salin
gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing
bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari, Duk semana pametune
wong ing ndesa.”
- ”Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi kemudian berganti gajah meta
semune tengu lelaki. Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga
tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya
rakyat adalah..”
Lung gadung rara nglikasi memiliki makna yaitu pemimpin yang penuh
inisiatif (cerdas) namun memiliki kelemahan sering tergoda wanita.
Perlambang ini menunjuk kepada presiden pertama RI, Soekarno. Sedangkan
Gajah meta semune tengu lelaki bermakna pemimpin yang kuat karena
disegani atau ditakuti namun akhirnya terhina atau nista. Perlambang ini
menunjuk kepada presiden kedua RI, Soeharto. Dalam bait ini juga
dikatakan bahwa negara selama 60 tahun menerima kutukan sehingga tidak
ada kepastian hukum. Ingat, usia kemerdekaan NKRI di tahun 2007 saat ini
adalah 62 tahun.
Dalam bait 20 dikatakan :
”Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati
sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka
ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune
Pajang Mataram.”
- ”Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri
sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka.
Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram.”
Bait ini menggambarkan situasi negara yang kacau. Pemimpin jauh dari
rakyat, dan dimulainya era baru dengan apa yang dinamakan otonomi daerah
sebagai implikasi bergulirnya reformasi (Jaman Kutila). Karakter
pemimpinnya saling jegal untuk saling menjatuhkan (Raja Kara Murka).
Perlambang Panji loro semune Pajang – Mataram bermakna ada dua kekuatan
pimpinan yang berseteru, yang satu dilambangkan dari trah Pajang (Joko
Tingkir), dan yang lain dilambangkan dari trah Mataram (Pakubuwono). Hal
ini menunjuk kepada era Gus Dur dan Megawati.
Lalu pada bait 21 tertulis :
”Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep
sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga
agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi
pijer tetukar.”
- ”Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana
(orang pandai) tidak berdaya. Rakyat kecil sengsara. Rumah hancur
berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara
ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar.”
Situasi negara dalam bait ini digambarkan bahwa kekuatan asing
memiliki pengaruh yang sangat besar. Orang pandai berpendidikan tinggi
dilambangkan tidak berdaya (pinter keblinger). Kondisi rakyat kecil
makin sengsara saja. Perlambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer
tetukar bermakna seorang pemimpin wanita yang selalu diintai oleh dua
saudara wanitanya seolah ingin menggantikan. Perlambang ini menunjuk
kepada Megawati, presiden RI kelima yang selalu dibayangi oleh Rahmawati
dan Sukmawati.
Pada bait 22 dikatakan :
”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajengipun
sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang
Kala Bendu, Ing Semarang Tembayat, Poma den samya ngawruhi, Sasmitane
lambang kang kocap punika.”
- ”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih itu sebuah
lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di
Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.”
Perlambang Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih bermakna
pemimpin yang tidak sempat mengatur negara karena direpotkan dengan
berbagai masalah. Ini menunjuk kepada presiden RI keenam saat ini yaitu
Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan perlambang Semarang Tembayat
merupakan tempat dimana tempat seseorang memahami dan mengetahui solusi
dari apa yang terjadi. Semarang Tembayat merupakan tempat yang masih
misteri dimana di dalam Surat Terbuka kepada SBY bapak Budi Marhaen
menggambarkan sbb :
”Jawaban dan solusi guna mengatasi carut marut keadaan bangsa ini ada
di ”Semarang Tembayat” yang telah diungkapkan oleh Prabu Joyoboyo. Guna
membantu memecahkan misteri ini dapatlah saya pandu sebagai berikut :
- Sunan Tembayat adalah Bupati pertama Semarang. Sedangkan tempat yang
dimaksud adalah lokasi dimana Kanjeng Sunan Kalijaga memerintahkan
kepada Sunan Tembayat untuk pergi ke Gunung Jabalkat (Klaten). Secara
potret spiritual, lokasi itu dinamakan daerah “Ringin Telu” (Beringin
Tiga), berada di daerah pinggiran Semarang.
- Semarang Tembayat juga bermakna Semarang di balik Semarang.
Maksudnya adalah di balik lahir (nyata), ada batin (gaib). Kerajaan gaib
penguasa Semarang adalah “Barat Katiga”. Insya Allah lokasinya adalah
di daerah “Ringin Telu” itu.
- Semarang Tembayat dapat diartikan : SEMARANG TEMpatnya BArat DaYA
Tepi. Dapat diartikan lokasinya adalah di Semarang pinggiran arah Barat
Daya.”
Kemudian pada bait 27 berbunyi :
“Dene besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, semune Pudhak
kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh
ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong nakoda
milu manjing ing samuwan,”
- “Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang.
Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan,
redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.”
Perlambang Tunjung putih semune Pudak kasungsang memiliki makna
seorang pemimpin yang masih tersembunyi berhati suci dan bersih. Inilah
seorang pemimpin yang dikenal banyak orang dengan nama “Satrio
Piningit”. Lahir di bumi Mekah merupakan perlambang bahwa pemimpin
tersebut adalah seorang Islam sejati yang memiliki tingkat ketauhidan
yang sangat tinggi.
Sedangkan bait 28 tertulis :
“Prabu tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah ingkang
satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan gunung
Perahu, Sakulone tempuran, Balane samya jrih asih, Iya iku ratu
rinenggeng sajagad.”
- “Raja utusan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa.
Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai
pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.”
Bait ini menggambarkan bahwa pemimpin tersebut adalah hasil didikan
atau tempaan seorang Waliyullah (Aulia) yang juga selalu tersembunyi.
Berkedaton di Mekah dan Tanah Jawa merupakan perlambang yang bermakna
bahwa pemimpin tersebut selain ber-Islam sejati namun juga berpegang
teguh pada kawruh Jawa (ajaran leluhur Jawa tentang laku utama).
Sedangkan gunung Perahu seperti telah disinggung di atas adalah Lebak
Cawéné. Kembali lagi, dimana tempatnya ? Kita telah membaca bait 22 di
atas. Ya di Semarang Tembayat itulah tempatnya. Sedangkan tempuran
adalah pertemuan dua sungai di muara yang biasanya digunakan untuk
tempat bertirakat ”kungkum” bagi orang Jawa. Namun di sini tempuran
bermakna ”watu gilang” sebagai tempat pertemuan alam fisik dan alam
gaib. Dalam budaya spiritual Jawa keberadaan watu gilang sangat lekat
dengan eksistensi seorang raja. Insya Allah.. Pemimpin tersebut akan
mampu memimpin Nusantara ini dengan baik, adil dan membawa kepada
kesejahteraan rakyat, serta menjadikan Nusantara sebagai ”barometer
dunia” (istilah Bung Karno : ”Negara Mercusuar”).
Bait-bait Terakhir Ramalan Joyoboyo
Dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo digambarkan suasana negara
yang kacau penuh carut marut serta terjadi kerusakan moral yang luar
biasa. Namun dengan adanya fenomena tersebut kemudian digambarkan
munculnya seseorang yang arif dan bijaksana yang mampu mengatasi
keadaan. Berikut adalah cuplikan bait-bait tersebut yang menggambarkan
ciri-ciri atau karakter seseorang itu :
159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun sinungkalan dewa
wolu, ngasta manggalaning ratu; bakal ana dewa ngejawantah; apengawak
manungsa; apasurya padha bethara Kresna; awatak Baladewa; agegaman
trisula wedha; jinejer wolak-waliking zaman; …
- selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (sinungkalan dewa
wolu, ngasta manggalaning ratu); akan ada dewa tampil; berbadan manusia;
berparas seperti Batara Kresna; berwatak seperti Baladewa; bersenjata
trisula wedha; tanda datangnya perubahan zaman; …
160.
…; iku tandane putra Bethara Indra wus katon; tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa
- …; itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak; datang di bumi untuk membantu orang Jawa
162.
…; bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere
garis; tan kasat mata, tan arupa; sing madhegani putrane Bethara Indra;
agegaman trisula wedha; momongane padha dadi nayaka perang perange tanpa
bala; sakti mandraguna tanpa aji-aji
- …; pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang
benar, tak kelihatan, tak berbentuk; yang memimpin adalah putra Batara
Indra, bersenjatakan trisula wedha; para asuhannya menjadi perwira
perang; jika berperang tanpa pasukan; sakti mandraguna tanpa azimat
163.
apeparap pangeraning prang; tan pokro anggoning nyandhang; ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang; …
- bergelar pangeran perang; kelihatan berpakaian kurang pantas; namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang; …
164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho;
ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah
saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda;
landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan
Noyogenggong
- …; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua
kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah
perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula
weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi
Sabdopalon dan Noyogenggong
166.
idune idu geni; sabdane malati; sing mbregendhul mesti mati; ora
tuwo, enom padha dene bayi; wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi
sembada; garis sabda ora gentalan dina; beja-bejane sing yakin lan tuhu
setya sabdanira; tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa; nanging inung
pilih-pilih sapa
- ludahnya ludah api, sabdanya sakti (terbukti), yang membantah pasti
mati; orang tua, muda maupun bayi; orang yang tidak berdaya minta apa
saja pasti terpenuhi; garis sabdanya tidak akan lama; beruntunglah bagi
yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya; tidak mau dihormati orang
se tanah Jawa; tetapi hanya memilih beberapa saja
167.
waskita pindha dewa; bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira,
canggahira; pindha lahir bareng sadina; ora bisa diapusi marga bisa maca
ati; wasis, wegig, waskita; ngerti sakdurunge winarah; bisa pirsa
mbah-mbahira; angawuningani jantraning zaman Jawa; ngerti garise
siji-sijining umat; Tan kewran sasuruping zaman
- pandai meramal seperti dewa; dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut
dan canggah anda; seolah-olah lahir di waktu yang sama; tidak bisa
ditipu karena dapat membaca isi hati; bijak, cermat dan sakti; mengerti
sebelum sesuatu terjadi; mengetahui leluhur anda; memahami putaran roda
zaman Jawa; mengerti garis hidup setiap umat; tidak khawatir tertelan
zaman
168.
mula den upadinen sinatriya iku; wus tan abapa, tan bibi, lola; awus
aputus weda Jawa; mung angandelake trisula; landheping trisula pucuk;
gegawe pati utawa utang nyawa; sing tengah sirik gawe kapitunaning
liyan; sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda
- oleh sebab itu carilah satria itu; yatim piatu, tak bersanak
saudara; sudah lulus weda Jawa; hanya berpedoman trisula; ujung
trisulanya sangat tajam; membawa maut atau utang nyawa; yang tengah
pantang berbuat merugikan orang lain; yang di kiri dan kanan menolak
pencurian dan kejahatan
170.
ing ngarsa Begawan; dudu pandhita sinebut pandhita; dudu dewa sinebut dewa; kaya dene manungsa; …
- di hadapan Begawan; bukan pendeta disebut pendeta; bukan dewa disebut dewa; namun manusia biasa; …
171.
aja gumun, aja ngungun; hiya iku putrane Bethara Indra; kang
pambayun tur isih kuwasa nundhung setan; tumurune tirta brajamusti pisah
kaya ngundhuh; hiya siji iki kang bisa paring pituduh marang jarwane
jangka kalaningsun; tan kena den apusi; marga bisa manjing jroning ati;
ana manungso kaiden ketemu; uga ana jalma sing durung mangsane; aja
sirik aja gela; iku dudu wektunira; nganggo simbol ratu tanpa makutha;
mula sing menangi enggala den leluri; aja kongsi zaman kendhata madhepa
den marikelu; beja-bejane anak putu
- jangan heran, jangan bingung; itulah putranya Batara Indra; yang
sulung dan masih kuasa mengusir setan; turunnya air brajamusti pecah
memercik; hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk tentang arti dan
makna ramalan saya; tidak bisa ditipu; karena dapat masuk ke dalam hati;
ada manusia yang bisa bertemu; tapi ada manusia yang belum saatnya;
jangan iri dan kecewa; itu bukan waktu anda; memakai lambang ratu tanpa
mahkota; sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati; jangan sampai
terputus, menghadaplah dengan patuh; keberuntungan ada di anak cucu
172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada; ing zaman kalabendu Jawa;
aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa; cures ludhes saka braja
jelma kumara; aja-aja kleru pandhita samusana; larinen pandhita
asenjata trisula wedha; iku hiya pinaringaning dewa
- inilah jalan bagi yang ingat dan waspada; pada zaman kalabendu Jawa;
jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa; yang menghalangi
akan sirna seluruh keluarga; jangan keliru mencari dewa; carilah dewa
bersenjata trisula wedha; itulah pemberian dewa
173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula
padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula;
angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku
momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha
kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku
tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani
indering jagad raya; padha asung bhekti
- menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat
bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah
rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja;
itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi
termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh
kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman
penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa
hormat yang tinggi
Sampai di sini kita akan dapat mulai memahami siapakah yang dikatakan
oleh Prabu Joyoboyo dengan istilah “Putra Betara Indra” itu ? Bait-bait
tersebut telah mengurai secara rinci tentang ciri-ciri dan karakter
orang tersebut. Putra Betara Indra tidak lain dan tidak bukan adalah
Waliyullah (aulia) yang tertulis di dalam sinom bait 28 pada Serat
Musarar Joyoboyo. Perlambang paras Kresna dan watak Baladewa bermakna
satria pinandhita. Karena hakekat dua bersaudara Kresna dan Baladewa
(Krishna Balarama) melambangkan kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dimana
Kresna melambangkan pencipta, sedangkan Baladewa melambangkan potensi
kreativitasnya. Dua bersaudara Kresna dan Baladewa menghabiskan masa
kanak-kanaknya sebagai penggembala sapi. Dengan hakekat ini setidaknya
kita dapat meraba bahwa Putra Betara Indra adalah juga “Budak Angon”
(Anak Gembala) yang telah dikatakan oleh Prabu Siliwangi di dalam Uga
Wangsit Siliwangi.
Ramalan Satrio Piningit Ronggowarsito
Di dalam ramalan Ronggowarsito dipaparkan ada tujuh Satrio Piningit
yang akan muncul sebagai tokoh yang di kemudian hari akan memerintah
atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit, yaitu :
Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar,
Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Hamong
Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandhito Sinisihan
Wahyu. Berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian mencoba
menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu adalah sebagai berikut :
- SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO.
Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan
membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan akan kemudian
menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo
Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soekarno,
Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin
Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.
- SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR.
Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti
(Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba
buruk dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan
(Kesandung Kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.
- SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR.
Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya
dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela
Atur). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1998-1999.
- SATRIO LELONO TAPA NGRAME.
Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) akan
tetapi dia juga seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan Religius yang
cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan
sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-2000.
- SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH.
Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya
(Hamong Tuwuh). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004.
- SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO.
Tokoh pemimpin yang berpindah tempat (Boyong) dan akan menjadi peletak
dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan
(Pambukaning Gapuro). Banyak pihak yang menyakini tafsir dari tokoh yang
dimaksud ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia akan selamat memimpin bangsa ini dengan baik manakala mau dan mampu mensinergikan
dengan kekuatan Sang Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang
spiritualis sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan
bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan
mulai terkuak. Mengandalkan para birokrat dan teknokrat saja tak akan
mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Ancaman bencana alam,
disintegrasi bangsa dan anarkhisme seiring prahara yang terus terjadi
akan memandulkan kebijakan yang diambil.
- SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU.
Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan
bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak
atas dasar hukum / petunjuk Allah SWT (Sinisihan Wahyu). Dengan selalu
bersandar hanya kepada Allah SWT, Insya Allah, bangsa ini akan mencapai
zaman keemasan yang sejati.
Selain masing-masing satrio itu menjadi ciri-ciri dari masing-masing
pemimpin NKRI pada setiap masanya, ternyata tujuh satrio piningit itu
melambangkan tujuh sifat yang menyatu di dalam diri seorang pandhita
yang telah kita tahu adalah Putra Betara Indra yang juga Budak Angon
seperti telah diungkap di atas. Berikut ini adalah sifat-sifat “Satrio
Piningit” sejati hasil bedah hakekat bapak Budi Marhaen terhadap apa
yang telah ditulis oleh R.Ng. Ronggowarsito :
- Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro
melambangkan orang yang sepanjang hidupnya terpenjara namun namanya
harum mewangi. Sifat ini hanya dimiliki oleh orang yang telah menguasai
Artadaya (ma’rifat sebenar-benar ma’rifat). Diberikan anugerah
kewaskitaan atau kesaktian oleh Allah SWT, namun tidak pernah
menampakkan kesaktiannya itu. Jadi sifat ini melambangkan orang berilmu
yang amat sangat tawadhu’.
- Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar
melambangkan orang yang kaya akan ilmu dan berwibawa, namun
hidupnya kesandung kesampar, artinya penderitaan dan pengorbanan telah
menjadi teman hidupnya yang setia. Tidak terkecuali fitnah dan caci maki
selalu menyertainya. Semua itu dihadapinya dengan penuh kesabaran,
ikhlas dan tawakal.
- Satrio Jinumput Sumelo Atur
melambangkan orang yang terpilih oleh Allah SWT guna
melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjalankan missi-Nya. Hal ini
dibuktikan dengan pemberian anugerah-Nya berupa ilmu laduni kepada orang
tersebut.
- Satrio Lelono Topo Ngrame
melambangkan orang yang sepanjang hidupnya melakukan perjalanan
spiritual dengan melakukan tasawuf hidup (tapaning ngaurip). Bersikap
zuhud dan selalu membantu (tetulung) kepada orang-orang yang dirundung
kesulitan dan kesusahan dalam hidupnya.
- Satrio Hamong Tuwuh
melambangkan orang yang memiliki dan membawa kharisma leluhur
suci serta memiliki tuah karena itu selalu mendapatkan pengayoman dan
petunjuk dari Allah SWT. Dalam budaya Jawa orang tersebut biasanya
ditandai dengan wasilah memegang pusaka tertentu sebagai perlambangnya.
- Satrio Boyong Pambukaning Gapuro
melambangkan orang yang melakukan hijrah dari suatu tempat ke tempat
lain yang diberkahi Allah SWT atas petunjuk-Nya. Hakekat hijrah ini
adalah sebagai perlambang diri menuju pada kesempurnaan hidup
(kasampurnaning ngaurip). Dalam kaitan ini maka tempat yang ditunjuk itu
adalah Lebak Cawéné = Gunung Perahu = Semarang Tembayat.
- Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu
melambangkan orang yang memiliki enam sifat di atas. Sehingga
orang tersebut digambarkan sebagai seorang pinandhita atau alim yang
selalu mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Maka hakekat Satrio
Pinandhito Sinisihan Wahyu adalah utusan Allah SWT atau bisa dikatakan
seorang Aulia (waliyullah).
Serat Kalatidha Ronggowarsito
Guna memperlengkapi wacana kita tentang sifat dan karakter “Satrio
Piningit” yang telah diurai di atas, ada baiknya kita cermati pula
Serat Kalatidha karya Ronggowarsito yang tertuang dalam Serat Centhini
jilid IV (karya Susuhunan Pakubuwono V) pada Pupuh 257 dan 258. Kutipan
berikut ini menggambarkan situasi jaman yang terjadi dan akhirnya muncul
sang Satrio yang dinanti :
Pupuh 257 (tembang 28 s/d 44) :
Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata.
- Para pemimpinnya berhati jahil, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati.
Keh wahyuning eblislanat kang tamurun, apangling kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon kang sirna wiwirangira.
- Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita untuk
membedakannya, para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.
Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta nyata, akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase nalangsa.
- Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita dan banyak
orang miskin beraneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.
Krep paprangan, sujana kapontit nurut, durjana susila dadra andadi, akeh maling malandang marang ing marga.
- Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat, kejahatan /
perampokan dan pemerkosaan makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang
melintang di jalan-jalan.
Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu gelap cleret warsa.
- Alampun ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan gempa bumi.
Prahara gung, salah mangsa dresing surur, agung prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun tentreming wardaya.
- Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi kerusuhan seperti perang
yang tidak ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada
rasa tenteram di hati.
Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar silastuti titi tata.
- Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.
Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun Kalathida, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening karoban rubeda.
- Para penjahat maupun para pemimpin tidak sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan masalah / kesulitan.
Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak-cakrak.
- Para pemimpin mengatakan seolah-olah bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.
Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sanagara.
- Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu, makin lama makin menjadi
kesulitan yang sangat, dan berbeda-beda tingkah laku / pendapat orang
se-negara.
Katatangi tangising mardawa-lagu, kwilet tays duhkita, kataman ring reh wirangi, dening angupaya sandi samurana.
- Disertai dengan tangis dan kedukaan yang mendalam, walaupun
kemungkinan dicemooh, mencoba untuk melihat tanda-tanda yang tersembunyi
dalam peristiwa ini.
Anaruwung, mangimur saniberike, menceng pangupaya, ing pamrih melok pakolih, temah suha ing karsa tanpa wiweka.
Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing zaman musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang mangkono yen niteni lamampahan.
- Memberikan peringatan pada zaman yang kalut dengan bijaksana, begitu agar kejadiannya / yang akan terjadi bisa jadi peringatan.
Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan.
- Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu zaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.
Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane.
- Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan.
Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada.
- Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar
keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat
dan waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur).
Wektu iku, wus parek wekasanipun, jaman Kaladuka, sirnaning ratu amargi, wawan-wawan kalawan memaronira.
Pada saat itu sudah dekat berakhirnya zaman Kaladuka.
Pupuh 258 (tembang 1 s/d 7) :
Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu sirna, sinalinan
jamanira, mulyaning jenengan nata, ing kono raharjanira, karaton ing
tanah Jawa, mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka.
- Atas izin Allah SWT, zaman Kalabendu hilang, berganti zaman dimana
tanah Jawa/Indonesia menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan angkara
murkapun mereda.
Marga sinapih rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji wijiling utama,
ingaranan naranata, kang kapisan karanya, adenge tanpa sarana, nagdam
makduming srinata, sonya rutikedatonnya.
- Kedatangan pemimpin baru tidak terduga, seperti muncul secara gaib, yang mempunyai sifat-sifat utama.
Lire sepi tanpa srana, ora ana kara-kara, duk masih keneker
Sukma, kasampar kasandhung rata, keh wong katambehan ika, karsaning
Sukma kinarya, salin alamnya, jumeneng sri pandhita.
- Datangnya tanpa sarana apa-apa, tidak pernah menonjol sebelumnya,
pada saat masih muda, banyak mengalami halangan dalam hidupnya, yang
oleh izin Allah SWT, akan menjadi pemimpin yang berbudi luhur.
Luwih adil paraarta, lumuh maring branaarta, nama Sultan
Erucakra, tanpa sangakan rawuhira, tan ngadu bala manungsa, mung
sirollah prajuritnya, tungguling dhikir kewala, mungsuh rerep sirep
sirna.
- Mempunyai sifat adil, tidak tertarik dengan harta benda, bernama
Sultan Erucakra (pemimpin yang memiliki wahyu), tidak ketahuan asal
kedatangannya, tidak mengandalkan bala bantuan manusia, hanya sirullah
prajuritnya (pasukan Allah) dan senjatanya adalah se-mata2 dzikir, musuh
semua bisa dikalahkan.
Tumpes tapis tan na mangga, krana panjenengan nata, amrih
kartaning nagara, harjaning jagat sadaya, dhahare jroning sawarsa,
denwangeni katahhira, pitung reyal ika, tan karsa lamun luwiha.
- Semua musuhnya dimusnahkan oleh sang pemimpin demi kesejahteraan
negara, dan kemakmuran semuanya, hidupnya sederhana, tidak mau melebihi,
penghasilan yang diterima.
Bumi sakjung pajegira, amung sadinar sawarsa, sawah sewu
pametunya, suwang ing dalem sadina, wus resik nir apa-apa, marmaning
wong cilik samya, ayem enake tysira, dene murah sandhang teda.
- Pajak orang kecil sangat rendah nilainya, orang kecil hidup tentram, murah sandang dan pangan.
Tan na dursila durjana, padha martobat nalangas, wedi willating
nata, adil asing paramarta, bumi pethik akukutha, parek lan kali
Katangga, ing sajroning bubak wana, penjenenganin sang nata.
- Tidak ada penjahat, semuanya sudah bertobat, takut dengan kewibawaan sang pemimpin yang sangat adil dan bijaksana.
Dari gambaran yang tertulis di dalam Serat Kalatidha di atas, maka
kita akan mendapatkan gambaran yang sama dengan apa yang sedang terjadi
saat ini. Percaya atau tidak, kenyataannya semua yang telah digambarkan
para leluhur nusantara ini telah terjadi dan sedang berlangsung serta
insya allah akan terjadi, baik lambat ataupun cepat. Karena apa yang
telah dituangkan para leluhur kita dalam bentuk karya sastra adalah
hasil “olah batin” ataupun “perjalanan spiritual” beliau-beliau di dalam
menangkap lambang-lambang-Nya di alam nyata maupun gaib. Inilah yang
diistilahkan dalam kawruh jawa sebagai Sastrajendra Hayuningrat (sastra
tanpa wujud – papan tanpa tulis, tulis tanpa papan). Sehingga dalam
mengungkapkannya penuh dengan perlambang (pasemon ataupun sanepan).
Semuanya hanya ingin mengingatkan kita anak cucu leluhur nusantara ini
untuk senantiasa Eling dan Waspada.
Sumber :
sabdopalon