Narasi ini kubuat tanpa maksud apa-apa kecuali keinginan membuncah
rasa ini untuk berbagi bersama penduduk bumi yang insyaAllah terhormat.
Aku pernah meminta-minta pada Allah. Sudah barang tentu tak ada harga
diriku ketika itu. Semua tangis membuncah disusul senyum bahagiaku
karena merasa sangat dekat dengannya. Kemudian kutegakkan tulang
belakang searah gaya gravitasi bumi yang melarangku untuk terus melihat
dunia tanpa istirahat. Kulihat sekelilingku penuh sesak orang-orang yang
sedang berkegiatan sama denganku. Sama.
Orang-orang itu sedang menegadahkan tangannya sejajar horizontal
dengan dada mereka. Mulutnya bergerak atas bawah membentuk artikulasi
yang aku tidak dapat menerjemahkannya dalam kata. Itu bukan urusanku
kurasa. Mataku terfokuskan pada seseorang yang memakai kopiah haji
berwarna emas diselingi lurik khas timur tengah berwarna hitam. Aku
sekali lagi masih terbangun untuk menatap sekitarku.
Seorang berpakaian indah, memakai gamis yang menutupinya dari dada
hingga betis. Kemudian ia sambung sandangnya memakai celana panjang
berwarna sama dengan atasannya. Ia lilitkan selembar kain berbentuk
persegi panjang di lehernya. Kalau tidak salah, namanya ‘syal’. Ia duduk
paling depan, bersila, menunduk dengan mata terpejam. Butir air keluar
dari matanya yang tertutup sambil hidungnya menarik paksa cairan yang
terus mendesak keluar. Memimpin artikulasi yang membahana di seantero
masjid malam itu.
Aku kemudian menunduk lagi karena merasa aman berada di situ.
Kulanjutkan menangis episode dua ku dengan semakin deras. Aku serasa tak
punya bobot. Aku hanya menjemput memori yang kusesali mengapa itu
menjadi memori. Saat kubuka mata perlahan, hanya terlihat sesuatu
berwarna merah yang terhalang kaca air mataku.
Belum saatnya kupikir.
Jiwaku berteriak-teriak pada nadi. Napasku terengah-engah menahan
cairan lemas dari hidungku. Air mataku membasahi seluruh telapak tangan.
Leherku berkeringat. Badanku menggigil. Telapak kakiku bagai tak dapat
kurasa karena kupikir ia telah berubah menjadi batu karang. Aku terdiam
untuk beberapa saat. Lega sekali aku bisa menangis di hadapan-Mu.
Otak dan ruh ku bekerja pada malam itu. Kurasa.
Aku tak ingin isak tangis ini membahana dan sampai di seluruh telinga
jamaah. Keinginanku kemudian tidak terkabul. Orang-orang menatapku
tajam dengan raut wajah merasa terganggu dengan kehadiranku. Kuhentikan
sejenak sambil istighfar menatap bayang-bayang dalam benak.
Inikah aku; yang kadang terjerat luka; ingin kutitipkan rasa pada waktu bukan padamu, wahai jasad tertitip padaku.
Aku menggulung diriku. Menghapus memori penyesalan dengan mengecilkan volume—semuanya. Apakah aku sampai bisa mengganggu mereka.
Aku hanya ingin mengeluh pada Tuhan. Karena padaNya aku menangis,
bukan untuk siapa-siapa. Aku ingin mereka jangan terlalu merasa tangis
ini untuknya. Mereka kegeeran. Hihi, aku tertawa sebentar. Dan lenyap
seluruh air mata dan lekuk bibir yang menuju pusat bumi.
Aku seorang perasa yang egois. Tiba-tiba seluruh badanku kaku
mengeras seperti batu. Kurasa yang dapat bergerak hanya aliran darah
dalam setiap pembuluh dalam tubuhku. Oiya! ditambah bola mataku yang
masih dapat melirik kanan-kiri. Dan tak ada yang menyadari keadaanku.
Aku takut setengah mati. Juga setengah hidup. Mulutku tak dapat berucap
kata. Jantungku berdegup secukupnya. Tidak terlalu cepat atau kurang.
Berarti normal-normal saja kan keadaanku?
Tidak kurasa.
Aku tak dapat menggerakkan apa pun! Aku tak bawa teman, kerabat, atau
siapa pun. Bahkan kubuat orang sekelilingku kesal terhadapku. Bahkan
air mataku yang harusnya bisa keluar tak mau terjun dari kelenjarnya.
Aku ingin menangis, tapi tak ada air mata. Aku semakin sedih dan
ketakutan. Tapi tak ada yang dapat melihat ekspresiku. Tubuhku kaku di
atas sajadah Ibu. Ketakutan ini menjalar hingga ubun-ubun.
Aku bersedih. Tak ada yang dapat melihat ketakutanku. Aku layaknya
orang normal di mata orang. Duduk tegap bersila, mata lurus ke depan,
tangan terhampar di atas lutut, memakai kaus warna putih dan sweater
warna hijau. Bercelana panjang hingga mata kaki karena dari situ ke
bawah aku pakai kaus kaki.
Tapi di dalamnya ada rapuh yang menggerogoti batin. Aku bahkan tak
ingat siapa pun saat itu. Aku hanya takut mati dan tak ada yang
menyadari. Aku sendiri.
Suara di sekelilingku semakin menusuk gendang telingaku hingga
ledakan keras hinggap di otakku. Kulafazkan Astaghfirullaahaladziim. Dan
semua berakhir dalam senyum yang tercurah hanya untukku.
Ayah, Ibu dan Kakakku ada di sampingku. Ditambah seorang berjas putih memakai seperti headset di telinganya. Oh, stetoskop.
Aku lupa pada Allah padahal selang sedetik aku mengeluh padaNya. Aku
ini apa. Hingga lupa pada Zat Abadi. Aku menangis. Kali ini ditambah air
mata yang menjadi-jadi dan rasa yang bercampur aduk. Membanjiri baju
pasienku sampai petang menjelang dan hari berakhir sendu.