Bicara Baik atau Diam (1 of 2)
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ ِليَصْمُتْ
Siapa beriman kepada Allah dan hari
kemudian, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. (Muttafaq
‘alayh)
Di Syarah
Muslim, Imam Nawawi rahimahullâh
menjelaskan makna hadits tersebut sebagai berikut:
وأما قوله صلى الله عليه وسلم” فليقل خيرا أو ليصمت“ فمعناه أنه إذا أراد
أن يتكلم فإن كان ما يتكلم به خيرا محققا يثاب عليه واجبا أو ندوبا فليتكلم، وإن لم يظهر له أنه خير يثاب عليه فليمسك
عن الكلام.
Adapun
sabda Rasulullah saw, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” artinya ketika seseorang ingin berkata-kata
hendaklah dilihat apakah ucapannya mengandung kebaikan dan kebenaran sesuai
hukum wajib atau sunnah. Jika ya, maka berkatalah. Tapi jika tidak, tahanlah
diri.
Imam Syafi’i ketika menerangkan makna hadits di
atas berucap, “Ketika hendak berkata-kata, berfikirlah terlebih dahulu. Jika
ucapan itu tidak mengandung kemudharatan, maka berkatalah. Tapi bila mengandung
kemudharatan atau keraguan, maka tahanlah diri.”
Di
hadits tersebut terdapat nasihat sebaiknya menahan diri dari berkata-kata yang
tidak mengandung kebaikan, apalagi jika terdapat keburukan. Hal ini karena
salah satu tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat. Sungguh telah banyak terjadi pembicaraan yang bersifat mubah
berubah menjadi haram.
Dapat disimpulkan bahwa
pembicaraan yang kita lakukan harus sesuatu yang baik menurut hukum, baik
sunnah atau wajib. Bila isi pembicaraan bersifat mubah, sebaiknya seperlunya
saja karena dikuatirkan lama-kelamaan pembicaraan itu menjurus kepada hal yang
tidak berguna bahkan tidak dibenarkan menurut syariat.
Sekian banyak petuah bijak
disampaikan agar kita berhati-hati dalam bertutur kata. Teks kalimat yang
digunakan pun bermacam-macam, ada yang menggunakan bahasa anak muda sekarang
hingga peribahasa warisan budaya bangsa.
“Memang lidah tak
bertulang!”
“Mulutmu harimaumu!”
“Jikalau pedang lukai tubuh, masihlah ada harapan sembuh. Tapi jika
lidah lukai hati, kemana obat hendak dicari?”
“Ajining diri ono ing lati (peribahasa Jawa yang artinya kemuliaan
diri ada di lisan).”
Suatu saat Sahabat Abu Bakar
ash-Shiddiq ra. memegang ujung lidah beliau dan
berkata,
“Lidah
ini (bila tidak berhati-hati) bisa menyebabkanku
sampai pada tempat kesalahan dan celaka di dunia dan akhirat.”
Di kitab “Rawdhatul ‘Uqalâ’ wa Nuzhatul Fudhalâ’” Imam Ibnu Hibban al-Busti—beliau juga penulis
Shahih Ibnu Hibban—menerangkan:
قال أبو حاتم رضى الله عنه الواجب على
العاقل أن ينصف أذنيه من فيه ويعلم أنه إنما جعلت له أذنان وفم واحد ليسمع أكثر مما
يقول
Imam Abu Hatim ra. menjelaskan bahwa orang berakal harus lebih
banyak mempergunakan kedua telinga daripada lisan. Dia harus menyadari bahwa
diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu supaya lebih banyak
mendengar daripada berbicara.
Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang
diucapkan. Biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan akan
menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu
mengontrol apa yang akan dikatakan.
Imam Abu Hatim ra. juga menasihatkan bahwa lisan orang berakal berada
di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya
terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi
dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan
diam. Adapun orang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan
berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya.
Termasuk dalam menjaga lisan
adalah menjaga tulisan. Saat ini, begitu mudah kita menorehkan kata. SMS,
forum, blog, jejaring sosial dan kolom komentar di situs berita online menjadi
media utama sebagai ganti ucapan lisan.
Mari kita perhatikan diri
sendiri, tak perlu repot-repot mengamati orang lain. Siapa pun kita, apakah
kita murid, guru, mahasiswa, dosen, kepala keluarga, ibu, anak, pegawai,
pengusaha, anak buah, atasan, anggota masyarakat, pemimpin formal/non formal,
pejabat, politikus, anggota kepolisian, tentara, santri maupun ustadz, mari
kita evaluasi setiap perkataan/tulisan kita hingga detik ini.
Apakah ucapan kita selama
ini mengandung banyak manfaat? Ataukah lebih sering bersifat mubah (tak ada
manfaat dan mudharat)? Atau lebih parah lagi yaitu menimbulkan kemudharatan?
Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. memberi nasihat:
Sesungguhnya sebaik-baik ucapan
adalah yang bermanfaat.
Apakah ucapan kita selama
ini dalam koridor tata krama dan kesantunan? Ataukah justru bernada meremehkan,
mengejek, mencela, menghina dan provokatif?